Minggu, 15 Maret 2015

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

CARA ANALISIS KEBIJAKAN DENGAN NOMINAL GROUP TECHNIQUE (NGT)


Prof Toho memperagakan cara menganalisis kebijakan dengan teknik NGT.
(Gedung Pascasarjana UNESA, K02.103 /Sabtu, 14 Maret 2015).

***
"Hari ini hal luar biasa yg mungkin bertahun-tahun tidak pernah anda dapatkan" demikian ujar prof Toho sesaat setelah membagi tips policy formulation).

Dalam pengambilan keputusan atau kebijakan sangat diperlukan teknik-teknik agar kebijakan yang
diambil efektif, salah satunya adalah dengan menggunakan Nomiinal Group Technique (NGT).
Nominal Group Technique (NGT) atau Teknik Kelompok Nominal adalah salah satu teknik peran
serta dalam pengambilan keputusan yang efektif. Teknik ini dikembangkan oleh Dellbecq dan Van
de Ven pada tahun 1968 (Delbecq, et all., 1975), dimaksudkan sebagai suatu cara untuk
mengumpulkan pandangan dan penilaian perorangan dalam suasana ketidakpastian dan
ketidaksepakatan mengenai inti persoalan suatu masalah, lalu mencari jalan penyelesaian yang
terbaik.

Teknik kelompok nominal adalah proses terstruktur yang mengharuskan anggota kelompok menulis
gagasan/ide secara perseorangan, kemudian melaporkannya kepada kelompok. Bentuk pembuatan
keputusan ini adalah proses mengulangi pernyataan yang meminimisir penyesuaian (conformity) dan
menggerakkan peserta untuk mengambil keputusan yang dapat mereka dukung. Teknik kelompok
nominal membatasi pembahasan atau komunikasi antarpribadi selama proses pengambilan
keputusan, karena itu disebut nominal. Semua anggota kelompok secara fisik hadir, tetapi anggota-
anggota beroperasi secara indepeden.

Berikut langkah-langkah pengambilan kebijakan dengan cara NGT:
Sebuah kelompok (sekitar 15-20 orang) dikumpulkan untuk membicarakan masalah/isu atau
persoalan khusus. Setelah masalah dipahami, individu-individu dipersilahkan merenung hening
untuk menghasilkan ide-ide secara tertulis. Setelah semua ide dituliskan, tiap anggota mengambil
gilirannya secara berkeliling meja, dengan menyajikan satu gagasan tunggal dari daftarnya. Ide-ide
dicatat pada papan tulis atau flip chart dan tidak didiskusikan pada tahapan proses ini. Hal ini bisa
diulangi 2-3 kali sampai semua gagasan telah disajikan dan direkam. Setelah semuanya ide disajikan,
setiap orang diminta memilih 5 item dari keseluruhan ide/isu yang telah dituliskan dipapan tulis.
Setelah itu tiap anggota kelompok dengan diam dan independen mengurutkan peringkat gagasan.
Keputusan akhir ditentukan oleh gagasan yang mendapat peringkat tertinggi (peringkat 1-5).

Pada langkah selanjutnya, anggota-anggota kelompok memberikan pemungutan suara (voting) tanpa
nama atas pilihan-pilihan utama mereka dengan prosedur pemungutan suara yang diberi bobot
(pilihan pertama = 5 poin; pilihan kedua = 4 poin; pilihan ketiga = 3 poin; pilihan keempat = 2 poin;
pilihan kelima = 1 poin). Sebelum membuat keputusan akhir, kelompok dapat memutuskan untuk
membicarakan item-item yang diberi peringkat paling atas.



Jumat, 26 Desember 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Mengenal Dunia Jurnalistik


Udara begitu penting bagi manusia. Tanpa udara, manusia tidak dapat hidup. Begitu pula peran berita bagi manusia modern. Sejalan dengan perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), berita berperan penting bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Bila sekarang dikatakan manusia tidak dapat hidup tanpa berita, tanpa informasi, boleh dikata berita seperti udara. Begitu penting makna berita/informasi dalam kehidupan kita.
Jurnalistik berasal dari kata du journe (hari), yang diartikan sebagai catatan harian. Dalam perkembangannya, catatan harian ini kemudian disebut jurnal. Pada zaman dulu, berita (yang berupa pengumuman raja) disampaikan dengan ditempelkan di tembok-tembok kota, umumnya di tempat keramaian, seperti pasar. Waktu itu, jurnal atau berita memang hanya satu arah, yaitu dari atas ke bawah. Ini terbawa sampai ke tanah harapan baru, yaitu Amerika Serikat. Orang-orang pelarian/pengungsi dari Eropa itu hanya menerima pengumuman/berita dari negara Inggris Raya, negara induk mereka. Sampai munculnya dorongan untuk memerdekakan diri.
Sejalan dengan kemerdekaan AS, merdeka pula persnya. Itu sebabnya, dalam salah satu pasal Konstitusi AS dijamin bahwa ‘Kongres tidak boleh menciptakan UU atau peraturan apapun yang dapat menghambat kebebasan pers” (Amandemen Pertama Konstitusi AS). Dalam perkembangannya, pers AS menjadi pelopor jurnalisme investigasi dan jurnalisme liberal, yang banyak mempengaruhi negara-negara yang baru berkembang, di antaranya Indonesia.

A. Fungsi dan Peranan Pers


Menurut UU Pers No 40/1999, seperti tercantum dalam Pasal 3, pers di Indonesia memiliki fungsi:
1.     Informasi
2.     Pendidikan
3.     Hiburan
4.     Kontrol Sosial
5.     Ekonomi.

Pers juga disebut-sebut sebagai pilar keempat dalam menyelenggarakan sebuah negara, setelah eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Tanpa pers, ‘meja’ bernama negara akan ‘njomplang’. Presiden Thomas Jefferson bahkan mengatakan, “Bila diminta memilih negara tanpa pers atau pers tanpa negara, saya akan memilih pers tanpa negara.” Sementara itu, Napoleon Bonaparte dikenal juga dengan ucapannya: “Pena lebih tajam daripada seratus meriam.”

B. Jenis Pers (menurut mediumnya)

1.     Pers cetak : koran, majalah, tabloid, bulletin, newsletters, dsb.
2.     Pers siaran : radio, televisi.
3.     Pers on-line : cyber media (internet).

C. Profesi Kewartawanan


Yang dimaksud dengan pekerjaan profesional adalah pekerjaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1.     dilakukan berdasarkan pendidikan yang memadai;
2.     dilengkapi dengan pelatihan ketrampilan/teknis;
3.     pelaku memperoleh bayaran dari pekerjaannya;
4.     pekerjaan dilakukan karena niat dan minat pelaku, bukan paksaan/kewajiban.

Bila diterapkan di dunia kewartawanan, persyaratan tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut.
1.     Pendidikan
Sebaiknya wartawan berpendidikan minimal S-1. Ini karena wartawan berfungsi sebagai ‘guru masyarakat’, karya tulisnya dibaca banyak orang dan besar kemungkinan dipercaya. Pada masa sekarang, hampir semua media massa besar mensyaratkan pendidikan S1 untuk wartawan baru, bahkan tidak sedikit yang berijazah S2.
Namun, di lain pihak, karena suasana reformasi menyebabkan tumbuh media massa baru dan kebutuhan akan tenaga wartawan yang besar, tidak sedikit wartawan yang hanya tamat SMA atau bahkan belum tamat SMA. Hasilnya adalah berita-berita yang seadanya, ala kadarnya, hasil tanya sana sini, tidak mengabaikan standar jurnalisme dan etika jurnalis, dan tidak ada wisdom atau kearifan, bahkan dapat menyesatkan.

2.     Keterampilan
Meskipun seseorang berijazah S1 atau S2 belum tentu dia siap pakai di lapangan kerja yang diterjuninya. Seorang sarjana kedokteran atau sarjana hukum pun perlu kursus khusus untuk menjadi dokter, hakim, atau pengacara.
Di dunia kewartawanan, pelatihan pada para wartawan baru difokuskan pada
a.      Kemampuan wawancara
b.     Kemampuan menulis laporan
c.      Kemampuan berbahasa (asing maupun Indonesia)
d.     Kemampuan komputer
e.      dll.

3.     Upah/Honorarium

Sebagaimana profesi lainnya, wartawan hendaknya memeroleh honorarium dari pekerjaannya. Bisa dalam bentuk gaji bulanan atau berdasarkan jumlah dan kualitas karya tulis/foto. Wartawan yang tidak menerima upah (mendapatkan income dari menjual halaman koran, menerima amplop, memeras, menerima belas kasihan, dsb) bukan wartawan profesional.

4.     Minat/Kesukaan/Integritas
Tentara pun ada yang profesional dan tidak. Tentara yang tidak profesional adalah mereka yang menjalankan tugas karena wamil (wajib militer), bukan karena minat atau cita-citanya. Demikian pula wartawan. Bila dia melakukannya karena kewajiban (misalnya wartawan untuk terbitan Pemda Kabupaten atau Partai), dia bukan wartawan profesional. Wartawan profesional adalah mereka yang bekerja tanpa paksaan alias sukarela, dibayar atas pekerjaannya, dan memiliki integritas terhadap profesinya. Yang dimaksud integritas misalnya: sudah tahu wartawan honornya kecil dan pekerjaannya melelahkan serta mengandung risiko, tetap dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Mereka yang suka mengeluh gaji kecil tetapi tetap bekerja sebagai wartawan dan membenarkan tindak menerima rezeki amplop, dia tidak memiliki integritas seorang wartawan.

D. Apa saja profesi di dunia wartawan?


1.     Pemimpin redaksi (chief editor), seorang yang memimpin seluruh awak dan pekerjaan redaksi. Biasanya dia juga penanggungjawab isi media yang dikelolanya. Pemred tidak senantiasa hadir setiap saat. Kehadirannya hanya diperlukan saat pengambilan keputusan yang penting. Dia lebih dibutuhkan untuk berhubungan dengan pihak luar (pabrik kertas, agen & distributor, para menteri dan ketua parpol, para pemasang iklan, pemilik modal/pemegang saham, bagian percetakan, organisasi persuratkabaran atau kewartawanan, ormas, dll).

2.     Redaktur pelaksana (managing editor), seorang atau dua orang yang menjadi pengatur dan pengelola redaksi setiap hari. Dia bertanggung jawab kepada pemred. Dia memimpin rapat harian. Dia harus mengetahui dan menyetujui isi setiap halaman di media yang diterbitkan.

3.     Redaktur bidang, seorang yang memiliki keahlian di bidang tertentu (olah raga, hukum & kriminal, ekonomi & bisnis, hiburan, sospol, budaya, iptek, dll). Dia menyortir (menseleksi) naskah yang masuk sesuai bidangnya dan memastikan pemuatannya. Biasanya juga disebut desk editor.

4.     Redaktur bahasa, seorang yang menjadi penjaga gawang terakhir sebelum naskah dicetak/diterbitkan. Dia memeriksa kesalahan-kesalahan bahasa dan membetulkannya. Biasanya dia dibantu oleh para korektor yang bekerja mengkoreksi naskah reporter atau kontributor dari luar, sejak awal naskah masuk.

5.     Koordinator liputan (assignment editor), seorang yang boleh dikata sebagai tangan kanan redaktur pelaksana, tugasnya memberi penugasan kepada semua wartawan. Dia mengkoordinasikan tim liputan, tahu keberadaan setiap orang pada saat tertentu, dapat menghubungi mereka sewaktu-waktu, mengganti tugas dengan yang lebih penting, dst. Korlip memiliki daftar kegiatan setiap orang pada hari itu, yang berarti juga daftar target perolehan liputan di lapangan.

6.     Wartawan, seseorang yang mencari berita (dengan melakukan wawancara, pengamatan, penelusuran, menggali file/dokumentasi, merujuk referensi, dll, lalu menuliskannya). Wartawan melapor kepada redaktur bidang.

7.     Koresponden, sama dengan wartawan, hanya dia bekerja di luar wilayah penerbitan atau siaran. Biasanya mereka melapor atau bertanggungjawab kepada koordinator daerah/nasional.

8.     Stinger, pembantu lepas dari sebuah penerbitan, kantor berita, radio atau televisi. Karena bukan staf tetap, dia hanya memperoleh honor sesuai yang telah dikerjakan atau dimuat/ditayangkan/disiarkan. Dia juga bisa membantu lebih dari satu media. Pada umumnya stinger hanya memberi hard news dan straight news yang sifatnya sangat penting dan segera. Karena sifatnya yang dituntut cepat (kurang dari 6 jam sejak peristiwa), harga sebuah informasi yang dibeli sangat tinggi.

9.     Freelancer, hampir sama dengan stinger tetapi jenis kontribusinya tidak hanya hard news. Dia bisa menulis soft news, in depth, feature, atau investigative reporting. Dia dibayar berdasarkan jumlah dan kualitas karya.

10.  Contributor, sama dengan freelancer.

E. Menjadi Wartawan


Mari kita tengok sebuah kantor redaksi, lalu kita lihat bagaimana manajemen di dalam kantor redaksi (newsroom management).

1. Struktur

SURAT KABAR HARIAN’HAKSUARA
SIUUP  NO.617/SK/MENPEN/SIUPP/1998
Kantor pusat : Gedung Dewan Pers LT V –jalan Kebon sirih Jakarta Pusat 

 Keterangan     : 
  -  Tanda Panah kebawah artinya pengawasa
  -    Tanda datar artinya hubungan sejawat
  -    Pelaporan adalah kebalikan dari arah panah
                                                                                                                         
Kantor   Pusat          :  Ibu Kota Negara /atau dimana pemimpin umum berada ,
Kantor Wilayah        : Ibu Kota Propinsi/atau dimana kepala wilayah berada
Kantor Biro               :  Ibu Kota Kabupaten/atau dimana kepala biro berada
Kantor perwakilan   : Ibu Kota Kecamatan /atau dimana ka.perwakilan berada

                                                                                                                                                               


2. SOP (Standard Operational Procedures)

Semua pekerjaan memiliki SOP. Tanpa SOP, pekerjaan akan kacau balau. Di ruang redaksi, proses produksi berita juga memiliki SOP. Secara sederhana SOP itu meliputi:
1.     Wartawan memiliki rencana liputan
2.     Rencana liputan dibahas dalam rapat redaksi
3.     Rencana yang disetujui segera dilaksanakan
4.     Wartawan berkonsultasi dengan korlip dan redbid
5.     Korlip membantu redpel menyusun rencana produksi dan rencana penerbitan/siaran hari itu (bulan itu, mingu itu)
6.     Redbid memeriksa karya wartawan, memperbaiki, menugasi kembali, memberi judul, ilustrasi, dst
7.     Semua naskah yang sudah di-ACC redbid diperiksa oleh red-bahasa
8.     Setelah daftar liputan lengkap dan semua naskah diperiksa, dilakukanlay out
9.     Redbid mengawasi pemotongan/penyuntingan di tahap lay out
10.  Redpel melapor pada pemred bahwa produksi hari itu (minggu/bulan itu) siap terbit. Redpel dan pemred memeriksa tata muka dan isi media secara keseluruhan dan menyetujuinya.

3. Rapat

Rapat redaksi berbeda-beda frekuensi dan waktunya, tergantung pada media harian, mingguan, bulanan, harian pagi atau sore, atau radio, televisi, press on line, dst. Pada umumnya, untuk sebuah produksi ada 2-3 kali rapat, yaitu:
  1. Rapat perencanaan liputan
  2. Rapat perencanaan penerbitan/siaran/tayangan (hasil liputan)
  3. Rapat evaluasi.

Wartawan harus ikut pada rapat perencanaan untuk mendengarkan penugasan atau menyampaikan ide-idenya. Pada rapat yang kedua, wartawan mungkin tidak ikut karena sibuk menyelesaikan pekerjaannya atau sudah bertugas ke tempat lain. Rapat kedua cukup diikuti oleh redpel dan para redbid serta korlip. Rapat evaluasi sebaiknya diikuti semua orang.


F.Tugas & Kewajiban Wartawan

Tugas wartawan adalah mendapatkan dan menggali informasi sebanyak-banyaknya demi kepentingan publik (segmen pasarnya), sesuai arahan dari para senior/pemimpinnya. Adapun kewajibannya adalah melaksanakan tugas jurnalistik berdasarkan standar profesi dan kode etik jurnalistik, mengutamakan kebenaran dan kejujuran, sambil mematuhi syarat kecepatan. Secara ringkas, tugas wartawan adalah mencari berita dan menulis berita.
               Menurut James M. Neal dan Suzanne S. Brown dalam bukunya Newswriting and Reporting (Ames, Iowa: The Iowa University Press, 1976), ada lima cara bagi wartawan untuk memperoleh informasi yang diperlukan bagi beritanya, yaitu sebagai berikut.
1.      Partisipasi. Wartawan ikut serta (terlibat) dalam kejadian/peristiwa yang diberitakannya.
2.      Observasi. Wartawan mengamati, melihat dan mendengarkan hal-hal yang hendak diberitakannya.
3.      Wawancara/Interview. Wartawan menanyakan informasi kepada orang lain perihal yang hendak diberitakannya.
4.      Membaca. Wartawan membaca laporan, dokumen, dan buku referensi (internet), lalu menulis berita.
5.      Penelitian. Wartawan melakukan survai, polling pendapat umum, riset ilmiah, dsb, lalu menuliskan berita hasil penelitiannya.

G. Kualitas Wartawan

Tidak semua orang dapat menjadi wartawan. Tuntutan menjadi wartawan cukup tinggi. Wartawan adalah seorang profesional, sebagaimana profesi lainnya seperti dokter, pengacara, dll. Seseorang dapat disebut profesional bila:
1.     memiliki pendidikan/ketrampilan tertentu sesuai profesinya;
2.     terikat pada kode etik profesinya;
3.     memeroleh honor atau upah atas hasil pekerjaannya;
4.     melakukan pekerjaannya karena minat/panggilan, bukan kewajiban atau terpaksa.

Untuk menjadi wartawan yang baik, seorang dituntut:
1.     Dapat bekerja cepat, produktif, dan efisien: menghadapi deadline, menyelesaikan beberapa tugas sekaligus, siap 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
2.     Trampil mencari data (reporting ability): kesabaran dan ketelitian mencari informasi, kepandaian berwawancara, hubungan baik dengan nara sumber dan kolega, semangat mengejar & menggali hal-hal baru/penting
3.     Cermat: dalam pencatatan (akurat), dalam penggunaan sumber-sumber (dokumen, rujukan, menentukan nara sumber, dll)
4.     Mahir menulis berita: penguasaan bahasa, pilihan quotation (kutipan), lead yang menarik, efisiensi ruang/waktu, struktur (logis, koheren, dll).
5.     Teratur (organized): tepat waktu, dapat diandalkan, rajin membaca (terutama korannya sendiri), mau berkembang.
6.     Memiliki pertimbangan (wisdom/kearifan): terikat pada nilai-nilai keadilan & keseimbangan, mengenali dan menilai akibat pemberitaan, mengenali dan mematuhi kode etik profesi, team work.


H. Format Karya Jurnalistik di Media Cetak


Di bidang media cetak, terdapat berbagai jenis tulisan yang semuanya disebut karya jurnalistik. Menilik format dan isinya, karya jurnalistik ini dapat dibedakan menjadi delapan.

1.     News (berita), yakni informasi cepat, singkat, aktual (kriteria lebih lengkap terdapat pada pokok bahasan Kriteria Berita). Kelompok ini mencakup spot news, straight news, dan hard news.
-        Spot news, informasi kejadian dari suatu tempat di suatu masa. Misalnya, kecelakaan lalu lintas pada hari itu.
-        Straight news, informasi yang langsung ditulis dan disiarkan pada hari itu, tanpa perlu melakukan investigasi. Misalnya, pernyataan elit politik, keterangan polisi mengenai kasus pembunuhan yang baru terjadi, pengumuman kenaikan BBM, dsb.
-        Hard news, informasi yang bernilai berita tinggi, sangat penting. Misalnya, Presiden Gus Dur mundur hari ini, korban di Kalteng tambah 41 hari ini, dsb.

2.     Investigative Reporting (laporan investigasi/penyelidikan), yakni karya jurnalistik yang ditulis berdasarkan penyelidikan atas kasus atau isu tertentu, yang bertujuan mengungkap fakta sebenarnya. IR dapat memakan waktu, enerji, dan biaya lebih banyak daripada news, dan mengungkapkan fakta yang tidak diduga sebelumnya oleh publik. Selain itu, IR mengandung risiko dan kesulitan dalam upaya pencarian datanya, kadang-kadang wartawan diperbolehkan menyamar dalam hal ini.

3.     Depth Reporting (laporan mendalam), karya jurnalistik yang merupakan pendalaman dari news yang telah diberitakan sebelumnya. Perbedaan prinsip antara DR dengan IR adalah bahwa untuk DR tidak selalu dijalankan dengan kesulitan, risiko, penyelidikan tersembunyi/tersamar. Persamaannya, DR dan IR sama-sama ditulis berdasarkan data yang lebih banyak dan lebih mengungkap latar belakang.

4.     Feature, karya jurnalistik yang baik isi maupun gaya penyampaiannya tidak formal, bahkan cenderung ringan. Tema-temanya tidak harus baru atau penting, sebagaimana disyaratkan dalam penulisan berita. Namun, syarat utama penulisan feature adalah bahwa isi/tema dan gaya bahasa harus menarik, terutama yang berkaitan dengan kemanusiaan (human interest).

5.     Opini, tulisan yang berdasarkan pendapat pribadi penulisnya, baik berdasarkan fakta, teori yang pernah dipelajarinya, pengalaman, maupun pengamatannya saja. Tulisan opini terbagi dalam beberapa jenis, sebagai berikut.
-        Tajuk/Editorial, pendapat subjektif perusahaan pers bersangkutan perihal satu kasus/isu berita tertentu, misalnya tentang Kasus Bulogate. Tajuk biasanya ditulis oleh pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, atau anggota dewan redaksi senior. Isi Tajuk tidak harus dan tidak selalu sama dengan headlines atau berita-berita utama yang dimuat di surat kabar (majalah) bersangkutan.
-        Kolom, opini seorang kolumnist tentang isu tertentu. Kolumnist adalah penulis opini yang kerap mengisi halaman kolom (seperti penulis tetap, tetapi bukan pegawai/wartawan tetap dari perusahaan pers). Tulisan biasanya bersifat subjektif. Penulis umumnya senior dan memiliki kredibilitas di bidangnya.
-        Artikel, opini pembaca tentang suatu permasalahan di masyarakat. Penulis biasanya orang yang ahli, pengamat, atau praktisi di bidang tertentu (ekonomi, hukum, pendidikan, kebudayaan, politik, dll). Tulisan merupakan karya ilmiah populer yang selain bersifat opini subjektif, juga dilandasi teori dan data ilmiah atau faktual.
-        Surat Pembaca, opini pembaca (rakyat kebanyakan), berisi uneg-uneg, keluhan, usul, komentar, tentang isi media maupun hal lain (umumnya tentang layanan masyarakat oleh pemerintah atau penjual jasa). Tulisan ini bersifat subjektif, tidak perlu didukung teori atau data ilmiah, dan umumnya berdasarkan pengalaman penulis.

6.     Pariwara, ini sebetulnya iklan namun dikemas dalam gaya bahasa jurnalistik sehingga yang membaca tidak sadar mereka sedang membaca iklan.

7.     Karikatur, opini melalui gambar kartun/karikatur. Karikatur dapat dibuat oleh karikaturis tetap media bersangkutan (berarti menyampaikan opini redaksi), atau kiriman karikatur dari luar redaksi.

8.     Foto, karya jurnalistik gambar, baik berupa news maupun feature dan opini. Ini bisa foto lepas (berdiri sendiri sebagai berita foto), foto ilustrasi sebuah berita, atau foto seri (feature).

I. Nilai/Kritera Berita

Tidak semua kejadian/peristiwa adalah berita. Tidak semua pernyataan, atau orang, dapat menjadi berita. Yang bernilai berita mesti memiliki nilai-nilai di bawah ini.
1.     Aktual: Paramitha melahirkan, pendaratan di Mars,  Maia main sinetron,  dll.
2.     Penting (signifikan): harga pupuk naik, bensin menghilang dari pasaran, gaji pegawai naik, tarip dasar listrik (TDL) turun, UN dibatalkan, dll.
3.     Konflik/Kontroversi: Maia vs Akhmad Dani, RUU Pornografi, Aa Gym poligami, dll.
4.     Tragedi, Bencana: Lumpur Lapindo, tsunami, longsor, dll.
5.     Tokoh (prominence): Gus Dur berselingkuh, Tamara kangen anaknya, Doyok ketangkap sedang nyabu, dll.
6.     Kedekatan tempat dan perasaan (proximity): kecelakaan KA di Sidoarjo, air pasang di Kenjeran, banjir di Jakarta,  DPR selidiki hari jadi Jatim, dll.
7.     Berskala besar (magnitude): 200 tewas, demo ratusan ribu orang, ikan terbesar, pemogokan buruh, dll.
8.     Menarik (human interest): kehidupan buruh di kawasan Rungkut, kehidupan malam kalangan wartawan, dll.
9.     Unik: bayi kembar lima, nenek-nenek melahirkan, sapi berkepala dua, dll
10.  Sex & Crimes.

Selasa, 02 Desember 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Tingkat Kebenaran Ilmu tergantung Kemampuan Menyelam


Berikut ini hanya sebagian kecil cuplikan saat calon pakar/Doktor PSDM kuliah Filsafat Ilmu dengan Profesor Basuki di Ruang 105 gedung Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Prof: Penelitian Sosial itu paling sulit.

Cpakar PSDM: Oh begitu ya prof..

Prof: iya sulit, karena tingkat kebenaran ilmu tergantung sejauh mana kemampuan kita menyelam, kita harus nyemplung masuk karena banyak variabilitasnya.
Kalau ada yg masih ingat teori valsifikasi dari Thomas Kuhn, tentang What is science?
Ada generalisasi yg mengatakan bahwa semua angsa berbulu putih. Tapi kesimpulan ini menjadi gugur ketika ditemukan sesekor angsa berbulu hitam. Itu artinya bhwa penelitian ilmu sosial itu tidak mudah melakukan generalisasi. Kita harus mengasumsikan bahwa ada hal-hal yang belum kita ketahui, oleh karenanya kita harus masuk nyemlung menyelam lebih kedalam.

Cpakar PSDM: Trus..apakah ada triknya ya prof agar bisa menyelam lebih dalam agar kebenaran ilmu itu benar-benar didapatkan?

Prof: ya kalo menyelam secara virtual harus pakai tabung oksigen yang cukup untuk kebutuhan berhari-hari, tapi mohon maaf... ini metafora, jangan dibayangkan sama seperti kita menyelam dilaut, saya sendiri tidak bisa menyelam dilaut, saya hanya bisa menyelam yg lain.

Cpakar PSDM: haqhahqhhaq



Minggu, 16 November 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN


Salah satu aktivitas paling vital dalam organisasi apapun adalah pengambilan keputusan. Keputusan dapat melibatkan arahan strategis dari organisasi (contoh. Keputusan untuk kemungkinan merger atau akusisi) atau bisa saja terkait dengan hal sederhana sehari-hari karyawan (contoh. Keputusan tentang cara baru menyapa konsumen di telepon). Keputusan harus diambil setelah berbulan-bulan mengumpulkan informasi dan pertimbangan atau diambil langsung dengan sedikit atau tanpa pertimbangan. Keputusan dapat diambil sendiri oleh individual, melalui konsultasi dengan anggota organisasi yang relevan atau dalam grup partisipatif. Dan keputusan akan bervariasi level efektifitasnya. 

Nutt(1999) menyimpulkan separuh pengambilan keputusan di organisasi gagal karena sedikitnya digunakan taktik pengambilan keputusan oleh manajer sebagaimana problem dengan komunikasi.

Dalam bab ini kita mengeksplor perna komunikasi dalam pengambilan keputusan organisasional. Pertama, kita melihat model umum prose spengambilan keputusan, mempertimbangkan pergerakannya menjauh dari model rasional menuju ke yang berbasis intuisi dan prinsip lainnya yang kurang logis. Kemudian kita membahas conteks grup kecil dimana banyak keputusan organisasional diambil. Selanjutnya kita mempertimbangkan satu cara dimana nilai tentang pengambilan keputusan dilekatkan pada kerja organisasi, studi partisipasi dalam pengambilan keputusan dan demokrasi di tempat kerja. Kita tutup bab ini dengan melihat pengetahuan proses manajemen yang membawa kita lebih jauh dari proses pengambilan keputusan.

MODEL-MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Model pengambilan keputusan Rasional

Dalam teori klasik tentang perilaku organisasi, pengambilan keputusan seluruhnya merupakan proses yang lasional dan logis. Pertama, anggota organisasi mengetahui masalah yang harus diputuskan. Setelah mendefinisikan masalah dengan hati-hati, pengambil keputusan kemudian mencari semua informasi yang relevan terkait masalah tersebut. Kemudian pengambil keputusan membuat satu set pilihan keputusan dan mengevaluasinya menurut kriteria yang dikembangkan secara hati-hati untuk keefektifan keputusan. Proses pengambilan keputusan selesai ketika keputusan optimal diketahui dan pengimplementasiannya dapat dimulai.

Nutt(1984) membahas model rasional dan logis dalam pengamnbilan keputusan sebagai metode normatif yang direkomendasikan pada eksekutif di sebagian besar buku manajemen. Metode normatif ini mempunyai 5 tahap: formulasi, pengembangan konsep, pendetailan, evaluasi dan implementasi.
Pertimbangkan sebagi contoh, sebuah tim manajer mencoba mengambil keputusan tentang mengambil server baru untuk network komputer kantor. Dalam tahap fomulasi, tim akan melakukan survey pada anggota organisasi tentang model dan kebutuhan berkomputer. Tahap selanjutnya, Pengembangan, tim akan mengembangkan cara alternatif untuk menghadapi masalah. Di poin ini mereka akan melihat berbagai jenis server dan cara computer individu dapat dikonfigurasikan di jaringan area lokal. Pada proses pendetailan, subgroup dapat dikirim untuk melihat lebih detail pro dan kontra dari opsi-opsi yang berbeda dan kemmapuan kerjanya bisa jadi dites. Saat evaluasi, informasi yang didapatkan dari tahap pendetailan akan diletakkan dalam pengawasan ketat untuk menghitung harga dan keuntungan tipa sistem komputer. Akhirnya ketika implementasi yang lolos evaluasi akan digunakan oleh grup manajemen.

Alternatif bagi Model Rasional
Proses rasional dan logis ini terdengar sebagi cara ideal untuk mengambil keputusan organisasi. Bagaimanapun, model ini tidak mencerminkan keadaan di lapangan atas fungsi kerja organisasi. Penteori pertama yang menawarkan alternatif bagi cara ini adalah March dan Simon(1958, Simon,1960) yang mengkarakterkan pendekatan tradisional pada pengambilan keputusan sebagai model yang lebih optimal dimana pengambil keputusan mencari satu cara terbaik bagi problem organisasi. Mereka percaya adalah lebih realistis utnuk melihat pengambilan keputusan organisasi sebagai proses yang memuaskan dimana solusi yang dicari bukanlah 1 solusi terbaik namun solusi yang bekerja cukup baik untuk mengatasi situasi. Seperti yang dijelaskan oleh Pugh dan Hickson (1989).

Kebanyakan keputusna bukan berfokus mencari jarum tertajam di tumpukan jerami,namun untuk emncari jarum yang cukup tajam untuk menjahit. Jadi administrator yang ‘membuka diri pada opsi solusi’ atau ‘satisfice’dapat mengambil keputusan tanpa mencari seluruh alternatif  solusi dan dapat menggunakan aturan empol sederhana. Dlaam istilah bisnis, mereka tidak mencari profit maksimum, namun profit yang cukup, bukan harga optimal namun harga wajar. Ini membuat dunia mereka jauh lebih sederhana.(p.138)
March dan Simon (1958) mengatakan bahwa pengambil keputusan organisasional menggunakan taktik ‘satisfice’ karena tidak mungkin membuat solusi ideal rasional. 

Malahan, pengambil keputusan organisasi dikarakterkan dengan rasionalitas yang terbatas karena mereka berusaha membuat keputusan logis namun secara kognitif mereka terbatas (manusia tidak selalu logis sempurna) dan oleh aspek praktis hidup organisasional (seperti terbatasnya waktu dan sumber daya). Contohnya manajer mungkin harus memutuskan program pengolah kata apa yang diambil, jika manajer ini mengoptimalkan maka dia akan melakukan langkah seperti yang dijelaskan di model rasional, namun jarang ada waktu dan motivasi untuk melakukan ini, paling manajer akan berbicara pada beberapa kolega tentang software dan menemukan program yang sesuai kebutuhan organisasi. Jadi March dan Simon mengatakan keputusan tersebut tetap logis namun sesuai batasan personal dan organisasional.

Baru-baru ini, march dan Simon mengajukan model pengambilan keputusan yang lebih jauh terlepas dari model pengoptimalan daripada ‘satisfice’nya. Contohnya, Simon (1987) mengutarakan sebagian besar pemngambilan keputusan organisasi dapat diatributkan pada proses intuitif manajer. Simon mendengarkan kembali karya awal Barnard (1938) yang menyarankan pemisahan antara proses manajemen yang logis dan tidak. Barnard mendebat pengambil keputusan sering dipaksa untuk membuat keputusan cepat tanpa kesempatan mencari informasi. Manajer dalam kondisi ini sering membuat keputusan tanpa pengetahuan sadar tentang bagaimana keputusan ini diambil. Barnard (1938) mengutarakan bahwa

Sumber proses non logis ada di kondisi psikologis atau di lingkungan fisik dan sosial, kebanyakan tertanam pada kita secara tidak sadar. Mereka juga mengandung banyak fakta, pola, konsep, teknik, abstraksi dan secara general apa yang kita sebut pengetahuan formal atau keyakinan, yang tertanam pada kita kurang lebih atas usaha sadar dan belajar. Sumber kedua atas proses mental non logis ini jauh meningkat dengan eksperimen langsung, pendidikan dan pembelajaran.(p.302)

Simon (1987) menunjukkan bahwa melalui intuisi, pengambilan keputusan adalah tidak logis ataupun logis, namun adalah pengambilan keputusan yang didasarkan pada pengalaman lalu yang konteksnya serupa. Ada yang menyebutnya pengambilan keputusan analogis, yaitu dalam mengambil keputusan manajer akan memeprtimbangkan apa yang telah berhasil di situasi serupa di masa lalu. Dengan analogi, solusi serupa harusnya sukses, seperti yang dikatakan Sumon (1987) ''manajer yang berpengalaman mempunyai banyak pengetahuan di memorinya yang didapat dari training dan pengalaman dan diorganisasi dalam asosiasi informasi.'' pengambilan keputusan intuitif mengandalkan sang pengambil keputusan untuk mengakses potongan informasi itu untuk digunakan.
Studi atas pengambilan keputusan intuitif (Burke dan Miller, 1999) mendukung banyak ide Simon. Memang ketika manajer ditanya seberapa sering menggunakan intuisi dalam mengambil keputusan, hanya 10% yang menjawab jarang. Banyak manajer percaya banyak situasi yang memerlukan metode intuitif dan metode ini menguntungkan, meningkatkan kualitas keputusan, memfasilitasi perkembangan personal dsn mendukung keputusan yang kompatibel dengan budaya organisasi.
Alternatif lain bagi pengambilan keputusan rasional disediakan oleh March dan koleganya ( Cohen, March dan Olson, 1972). Dalam mldel pengambilan ,keputusan berbentuk tong sampah mereka, penteori ini melangkah jauh dari norma rasional, dan mengatakan bahwa proses pengambilan keputusan adalah dimana masalah, solusi, partisipan dan pilihan digabungkan bersama dalam gaya yang independen. Keputusan diambil saat ''koleksi masalah, solusi,partisipan dan pilihan bersatu'' (pugh dan hickson, 1989,p.145). Jadi, seorang manajer mungkin punya rencana baru untuk prosedur penagihan yang kebetulan cocok dengan kebutuhan konsumen. Keputusan yang muncul dalam situasi ini bukan hasil pencarian logis namun kebetulan yang menyenangkan semata. March dan kolega percaya tingkah laku organisasional sering muncur secara irrasional begitu. Prinsip ini serupa milik Weick tentang sensemakimg yang diulas di bab 4.
Sebagai rangkuman, teori dan penelitian memperlihatkan bahwa pengambilan keputusan bukanlah proses yang seluruhnya rasional atas pencarian informasi danpemilihan keputusan, malahan intuisi yang lebih banhak dipakai, solusi satisficing, dan tabrakan dari masalah dan jawaban.

Case in Point: Keputusan Keuangan Personal

Pengambilan keputusan di tempat kerja memiliki dampak penting bagi organisasi dan orang yang bekerja didalam dan untuk mereka. Namun bagi individu, tugas keputusan terpenting tentang apa yang harus dilakukan dengan uang yang didapat dari kerja. Keputusan semacam itu akan mempengaruhi gaya hidup ybs., tanggal pensiun dan aktivitas amal.
Anda akan berpikir, rasionalitas akan berada di depan dan sentral dalam membuat keputusan yang sangat penting bagi hidup dan masa depan kita ini.”Tidak” kata ahli dalam bidang ‘tingkah laku finansial’, study lapangan menyelidiki peran motivasi dan psikologi dalam keputusan berinvestasi (Bernard,2004). Malahan banyak individual mengandalkan jalan pintas mental-‘heuristic’(kemampuan seseornag unutk menemukan atau menyelidiki sendiri) yang memotong harga prinsip rasional tentang probabilitas dalam berinvestasi. Contohnya, orang cenderung merasa lebih aman mengikuti jalan investor lain, cenderung terlalu fokus pada apa yang baru terjadi, cenderung mengembangkan jangkar kepentingan yang irrasional, tidak mau mengakui kesalahan dan cenderung memperlakukan uang berbeda menurut sumbernya.Semua ini menuntun pada keputusan investasi yang bercela.
Jadi apa yang harus dilakukan oleh investor? Mengikuti langkah keputusan rasional seperti yang diterangkan di bab ini mungkin masuk akal. Tapi karena kita tidak punya informasi yang sempurna dan tidak punya banyak waktu atau pendekatan rasional yg sempurna pada uang dan hidup kita, ini akan menjadi sulit. Jadi berkonsultasi pada ahli akan membantu. Seperti Bernard (2004 p.E5) menyimpulkan ''mengeluarkan emosi dari pengambilan keputusan meningkatkan kemungkinan rasionalitas hasil''

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI GRUP KECIL
Menurut pepatah lama, onta adalah kuda yang didesain oleh komite. Pernyataan ini berkaitan dengan minus yang dapat terjadi dalam pengambilan keputusan secara grup. Kebanyakan keputusan di organisasi diambil dalam grup kecil, apakah itu komite, tim kerja yang independen atau task force.

Model Deskriptif Pengambilan Keputusan Secara Grup
Kebanyakan model pengambilan keputusan secara grup adalah menjalani beberapa tahap dimana secara sistematis mereka berusaha menentukan keputusan. Salah satu model representatif disuguhkan oleh B.A.Fisher (1970) yang menyatakan 4 tahapan: orientasi, konflik,kemunculan dan penerapan. Pada tahap orientasi anggota grup saling mengenal satu sama lain dan memahami masalah yang dihadapi. Tahap konflik, kemungkinan solusi diungkapkan dan diperdebatkan, tahap kemunculan adalah saat setelah perdebatan akhirnya grup memiliki konsesus persetujuan bersama untuk kemudian masuk ke tahap penerapan. Model ini juga diperkenalkan oleh Bales dan Strodtbeck (1951) dan Tubbs (1978).


Dalam beberapa cara, model ini merupakan cermin dari model rasional yang dijelaskan di atas, seperti yang dikatakan Poole dan Roth (1989) ''karakter keputusan sebagai hasil grup mengikuti sistematika logis,, (p.325). Model tahap juga mengasumsikan kesatuan sekuen yang rigid atas aktivitas grup. Karenanya, pengambilan keputusan selalu dimulai dengan orientasi dan sesuai dengan tahapan selanjutnya. Beberapa penteori keberatan dengan model ini, seperti Cissna (1984) yang mendebat tahapan itu tidak ada, Morley dan Stephenson (1977) mengatakan tahapan akan berbeda tergantung tipe keputusan yang dibuat oleh grup. Gersick (1991) mengembangkan 'ekuilibrium yang tepat' yang menyorot struktur dasar dan pergeseran revolusional yang terjadi dalam grup.

selengkapnya klik DISINI (PPT)

Senin, 10 November 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

MACET DALAM MENULIS DISERTASI? INI TIPSNYA

PROF. TOHO: INI RAHASIANYA KETIKA MACET DALAM MENULIS DISERTASI 


Saya berharap teman-teman sekalian, kami bertiga ini (Prof  Eko, Dr Wahyudi dan saya ) ingin membantu teman-teman untuk supaya lancar studinya.

Saya tidak hanya sekedar untuk memberi nilai, tapi malah kami dorong agar  memiliki perilaku-perilaku atau budaya kemandirian sebagai mahasswa S3 yang akan menjadi pakar Doktor Manajemen Pendidikan.

Demikianlah ucap Prof Toho saat  memberi suntikan motifasi pada mahasiswa S3 MP Unesa di 10 menit terakhir sebelum kuliah Metodologi Penelitian usai, Sabtu 08 November 2014 (R.103).

Lebih lanjut Prof Toho mengatakan bahwa jikalau anda kesulitan dan terjadi kemacetan menulis disertasi maka anda harus:
Ø  Terlebih dahulu temukan kajian/tema study anda, maunya menjadi  apa kelak setelah jadi doktor? Anda harus temukan itu, mau jadi pakar/ahli bidang apa nantinya
Ø  Segera lakukan sesuatu (do something now), anda harus melawan diri sendiri (self denial)
Ø   Budayakan membaca, baca bacaan yang relevan.

Ø  Harus menjadi mentor bagi pembimbingmu.


Camkan apa yang bapak katakan ini, you akan mudah untuk menulis disertasi, pasti tidak sulit untuk menulis. Kalo you bisa lakukan itu maka you are the best, you are the winner.

Jadi, intinya mahasiswa yang saya bimbing, pak Eko bimbing, pak Wahyudin bimbing harus the best..! Setujuuuu?, 
Demikian kata Prof Toho menegaskan sekaligus mengakhiri wejangannya.
Dengan kompak para calon pakar yang hadir membalas dengan suara yakin “SETUJUUUU” sambil sorak tepuk tangan. Hehhehehe

Monggo ditambah….jika ada wejangan yg belum tertuliskan..!